Sebagian
besar dari orang berteriak karena memiliki digit yang minim ketika bekerja,
sebaliknya mereka yang berdigit banyak tak bersuara dan lebih banyak fokus
menghabiskannya, ada yang melakukan hobinya, menginvestasikan uangnya, atau
bersenang-senang dengan pasangan tak resmi (asumsi).
Bagi
saya yang bergaul dengan pengusaha, melihat perilaku mereka yang kerap terlihat
nggak masuk akal tapi ya memang ada. Bekerja keras dengan banyak hal yang
dipertimbangkan terutama bagaimana meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
Sebagian besar memiliki kepercayaan tertentu dalam mendapatkan keuntungan
dengan selalu menahan hal-hal yang banyak mudhorotnya.
Tapi
sayang sebagian kecil merahasiakan hal yang gak masuk akal kepada karyawannya.
Bagi industri yang paling dekat dengan wilayah kami cara kerja para pengusaha
sangat begitu bisa kami tebak, jika dia berkawan dengan penguasa wilayah maka
akan lancar-lancar saja seakan peraturan hanya berlaku bagi mereka yang
berseberangan.
Bayangkan
saja truk dengan tonase besar begitu lenggang bergerak di jam-jam berangkat dan
pulang sekolah, jangan tanya berapa korbannya karena sebagian banyak suaranya
ditutup dengan uang kompensasi yang habis setelah proses 40 harian. Mau
bagaimana lagi jika kami protes maka yang didapat hanyalah radang tenggorokan
karena pita suara habis kebanyakan teriak.
Para
pemuda dengan nurut menerima recehan dari usahanya yang angka pendapatannya
lebih dari 9 digit. Kita juga tak mendapat kesempatan untuk mengembangkan
skills yang sifatnya membangun, selain jualan sertifikat ala lembaga
sertifikasi negara. Dengan iming-iming naik gaji kami terpaksa melakukan
sertifikasi yang tak berguna.
kami
menyadari adanya pemikiran kerja bukan merupakan tempat belajar tertanam begitu
dalam di sistem limbik pemuda potensial, saya membayangkan di 2045 nanti akan
banyak menelurkan karyawan bernuansa RRC.
RRC
negara yang tidak demokratis tapi menjadi acuan kita sebagai bangsa yang
berasaskan dari rakyat untuk rakyat, bukan dari rakyat untuk pengusaha
(pemerintah). Tidak bisa menutup mata bahwa usaha tak bisa dilepaskan dari
faktor politik, bagaimana amerika dengan kekuatan politiknya kepada dunia mulai
terancam dengan datangnya tiongkok sebagai pesaing utama.
Kelompok-kelompok
yang berkedok ingin menelurkan pengusaha rasanya tak begitu tulus mengajarkan
bagaimana caranya berusaha, apalagi pengajarnya adalah pengusaha berbasis MLM.
Bukannya bermanfaat tapi malah membawa ke pusaran angin puting beliung yang
kelamaan akan mengecil.
Paradigma
kemanfaatan perlu kiranya ditanamkan ke dalam sistem limbik calon pengusaha.
Misalnya dengan teganya memberikan upah rendah kepada mereka yang tak tau apa
apa. Sulitnya mencari pekerjaan disinyalir menjadi dalang mengapa perusahaan
kaya memberikan upah rendah. “Jika tak mau ikut saya silahkan pulang ke rumah”,
agak lucu tapi gapapa.
Semoga
pembaca mendapatkan insight dari suatu proses kehidupan kami yang memiliki UMP
tertinggi di salah satu provinsi di amerika sana.
0 Comments