Lika-liku Bisnis Pendidikan (Bagian 1)


Source : Pinterest.ca

Pendidikan tinggi merupakan ladang keuangan dengan maupun tidak diimbangi dengan fasilitas layak yang diterima pembelajar. Pendidikan tinggi banyak diharapkan menjadi lembaga yang mencetak individu penerus bangsa, individu yang diharapkan dapat membuat negara sedikit lebih baik dari sebelumnya meskipun jau dari yang seharusnya.

Menyelesaikan pendidikan tinggi merupakan sebuah langka yang cukup layak diapresiasi meskipun ribuan lulusan telah dicapai oleh beribu perguruan tinggi di Indonesia, penulis ingin mengangkat bagaimana rasanya menjadi mahasiswa yang telah lolos dalam ujian terakhir skripsi. Perjalanan pasca sidang merupakan sebuah pelajaran yang lumyan, salah satunya adalah cara mengatasi permaslahan komunikasi dengan para dosen yang terlibat dalam proses ujian.

Bagaimana bisa seorang penguji bisa membuat muridnya meraskan adem panas meskipun dia tidak melakukan kegiatan apapun, membiarkan tanda centang biru selama berhari-hari, hingga mencemooh mahasiswa yang dianggap nekat melanggar tata kesopanan menghubungi dosen (re. Menelpon). Alasan yang paling sering didengar oleh mahasiswa adalah “SIBUK” yang kemudian menjadikan mahasiswa akan menghayal bagaimana kesibukan dosen hingga menemukan rumusnya sendiri, namun tidak semua dosen memiliki pola. Kesibukan seorang dosen setelah penulis mencari memang lumayan berat, dengan beban kerja yang segitu dan kewajiban mentransfer ilmu dengan layak penulis berpendapat tidak masuk akal.

Seorang profesor di universitas terkemuka di Indonesia memberikan kritik pedasnya kepada kaum intelektual di Indonesia, dimana ia menyebutkan jika secara umum para dosen kini menghamba pada birokrasi sehingga kehilangan daya kritiknya. Selanjutnya ia mengatakan “Padahal sebagai dosen kami menderita sekali karena harus mengisi borang-borang yang katanya BKD, Simlitabmas, Sipeg, belum lagi itu kalau kami mengajar kan mestinya cukup silabus yang dibikin begitu baik, jelas dan detail, tetapi kalau di sini itu harus bikin BRP", membaca keluhan tersebut penulispun menjadi lumrah.

Logika yang saya dapat terkait hal tersebut adalah membiarkan dosen melakukan pekerjaan sesibuk-sibuknya sehingga melupakan esensi utama dari pembelajaran. Pemikiran dasar dari bisnis adalah mengutamakan pelanggan jika ingin mendapatkan penjualan yang meningkat dan terus relevant dengan pasar, yang dilupakan oleh sistem adalah mahasiswa sebagai pelanggan yang mewakili masyarakat sebagai pelanggan utama. Dari dasar pemikiran itu saja pendidikan tinggi tidak bisa memenuhi.

Seiring dengan diberlakukannya pembelajaran via daring, aksi protes dan demonstrasi berubah di ruang maya, dimana mudah saja bagi pihak yang didemo mengatur gawainya pada mode pesawat dan menganggap masyarakat baik-baik saja. Cara baru yang diterapkan untuk melawan demo-demo daring adalah dengan membayar buzzer untuk melawan argumen-argumen tersebut, sungguh sebuah ironi yang kita hadapi sekarang.

Pihak kampus biasa disebut dinamakan akademik selalu berpatokan pada lembar evaluasi pendidikan yang diberikan pada tiap pergantian semester, faktanya penulis selalu memberikan feedback mayoritas dan tidak pernah terasa perubahannya. Jika ditanya maka akan banyak sekali alasan yang mencuat, sehingga bagi mahasiswa akan sia-sia menanyakan perihal kualitas kepada akademik.

Tulisan ini tidak bermakna kurangnya hormat penulis kepada pihak kampus atau dosen, namun hanyalah sebuah kritik oleh mahasiswa akhir demi kemajuan kampusnya, serta menyampaikan sikap masyarakat yang pernah penulis dengar kepada pembaca.

Penulis tidak akan mengakhiri tulisan ini dengan suasana pesismis, penulias tetap berharap dengan perkembangan dunia saat ini saya rasa kampus akan semakin baik kedepannya, yang dapat dilakukan lulusan adalah bekerja dengan upaya terbaik dimanapun itu, kombinasikan niali-nilai diri dengan keilmuan yang didapatkan, jangan sampai harapan besar masyarakay runtuh hanya karena sistem yang buruk.

Untuk kampus terus lakukan dialog dan duduk bersama dengan mahasiswa, percayalah bahwa dengan keterbukaan pemikiran mereka tidak akan memberikan saran buruk kepada almamaternya. Survey kepuasan tidak cukup untuk menilai sistem yang rumit di kampus, masyarakat perlu dilibatkan selayaknya perusahaan tesla yang terus menerima kritikan dari pengguna produknya. Kampus tidak perlu menciptakan teori rumit untuk mendapatkan sistem yang baik.

Saya ucapkan banyak terima kasih kepada kampus saya, semoga semakin baik kedepannya, saya ingin merubah pemikiran kritis saya untuk sesuatu yang saya anggap baik, bukan malah menjelekan melalui sosial media. Terima kasih J



 


Post a Comment

0 Comments